Pertengahan Tahun 2024
Sepanjang tahun 2024, entah kenapa banyak konten reels maupun tiktok tentang wisata China yang membanjiri FYP-ku. Awalnya aku cuma scroll-scroll iseng, tapi kok lama-lama jadi sering banget muncul video yang menunjukkan tempat-tempat yang nggak realistis. Ada tangga kabut Pegunungan Tianmen yang seolah menuju langit, padang hijau Harbin yang membentang sampai menyentuh awan, pegunungan Avatar Zhangjiajie yang seperti dunia fantasi melayang, perbukitan warna-warni Danxia bak kanvas raksasa bumi, ditambah Kota Chongqing yang modern dengan gedung-gedung tinggi tapi terasa masih di lantai dasar, kereta cepat yang melesat hampir di semua rute, dan jalan aspal mulus yang membelah perbukitan curam membuat lanskap Tiongkok seperti kumpulan dunia berbeda yang disatukan dalam satu negeri.
Pegunungan Tianmen di Zhangjiajie, China
Sumber Gambar : Wikipedia
Perasaanku waktu nonton tentu aja terkagum-kagum.
"Lho, ini beneran ada di dunia nyata? Dan itu… di China?!"
Serius, vibe-nya tuh nggak main-main. Seperti setting film, seperti dunia fantasi, tapi ini... nyata!
Dari situ muncul rasa penasaran. "Aku harus lihat sendiri nih. Bener nggak sih seindah itu? Se-tidak nyata itu pemandangannya?"
Dan karena aku tipe orang yang nggak bisa puas cuma dengan nonton, akhirnya aku memutuskan China resmi menjadi tempat yang kukunjungi tahun 2025 ini. Dan karena aku suka tujuan antimainstream, aku memutuskan untuk menambahkan juga Mongolia ke dalam perjalanan ini. Btw, ini memang hal yang kulakukan tiap tahun, tepatnya saat libur panjang Idul Fitri, yaitu traveling ke tempat yang jauh dan akhir-akhir ini cenderung 'antimainstream'. Setelah tahun 2023 mengunjungi Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Uzbekistan), 2024 mengunjungi Rusia dan Oman, 2025 ini aku siap membuat pengalaman baru di China dan Mongolia!
Kenapa harus pas Idul Fitri? Karena di saat itu hampir semua kantor pemerintahan dan instansi tutup total, sehingga pekerjaan freelance-ku yang banyak berhubungan dengan dinas juga otomatis jeda. Nggak ada klien yang ngejar-ngejar, nggak ada deadline mendesak. Itu lah waktu paling ideal buatku benar-benar lepas, pergi jauh, dan mengejar perjalanan panjang tanpa rasa bersalah meninggalkan kerjaan.
Kemana saja?
Sejak memutuskan China adalah tujuan travelingku tahun 2025, selanjutnya aku pun mulai serius mencari tahu tentang kota-kota mana aja yang harus kukunjungi. Dan aku harus mulai dari kota mana? Mendapat inspirasi dari konten-konten tiktok dan reels itu, minatku memang cenderung ke wisata alam dengan pemandangan dramatis, budaya lokal yang kental, dan sejarah. Jadi aku butuh destinasi yang bukan cuma cantik di kamera, tapi juga punya cerita dan nuansa unik yang bisa diceritakan.
Beberapa minggu setelahnya, di sela-sela pekerjaan yang menumpuk, aku sempatkan untuk mencari jawaban atas pertanyaanku diatas. Aku mulai dari nonton reels dan tiktok, baca blog perjalanan, sampai buka-buka Google Maps buat cek tempat-tempat paling indah yang ada di China. Dari sekian banyak tempat, aku memutuskan ada 3 destinasi utama yang kupilih:

Rencana rute awalku..
1. Zhangjiajie (Pegunungan Tianmen dan Pegunungan Avatar)
Tempat ini udah pasti masuk daftar teratas dan yang paling wajib. Pemandangannya benar-benar kayak dunia lain—gunung batu menjulang tinggi, kabut tipis yang melayang di antara tebing, dan jembatan-jembatan kaca yang bikin lutut gemeter. Tempat ini katanya jadi inspirasi dunia Pandora di film Avatar, dan dari video-video yang aku tonton, suasananya memang kayak negeri dongeng. Alamnya luar biasa, dan cocok banget buat aku yang suka eksplor tempat-tempat yang bikin speechless.
2. Shaolin Temple
Sebagai pecinta budaya dan spiritual, aku menambahkan Kuil Shaolin sebagai target selanjutnya. Kuil ini terletak di kaki Gunung Song, provinsi Henan. Dari yang kubaca, tempat ini nggak cuma terkenal sebagai pusat seni bela diri legendaris, tapi juga punya sejarah panjang sebagai biara Buddha Chan (Zen). Aku ingin melihat langsung para biksu Shaolin berlatih kungfu, mengunjungi kuil tua yang tenang, serta menjelajah Pagoda Forest, kompleks pemakaman kuno yang ikonik. Tempat ini adalah perpaduan antara kekuatan fisik dan ketenangan batin—kombinasi yang sangat menarik buatku.
3. Beijing
Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi Beijing pada tahun 2017, tapi tetap saja kota ini masuk lagi ke daftar. Kenapa? Karena masih banyak tempat yang dulu belum sempat aku jelajahi. Dan jujur aja, aku juga nggak masalah balik lagi ke Tembok Besar China—buatku, pemandangannya tetap luar biasa walau dikunjungi lebih dari sekali. Selain itu, Beijing jadi titik strategis karena dari sinilah aku akan terbang menuju Mongolia. Jadi sekalian saja aku sempatkan eksplor ulang—mungkin kali ini dengan sudut pandang berbeda dan itinerary yang lebih santai.
Nah, setelah puas eksplor China, aku berencana akan lanjut ke negara kedua yaitu Mongolia dengan penerbangan langsung dari Beijing. Entah kenapa, bayangan tentang padang rumput luas, tenda-tenda yurt, dan kehidupan nomaden di bawah langit biru Mongolia itu sangat menggoda.
Mongolia yang sebagian besar areanya dipenuhi pegunungan dan perbukitan (area berwarna coklat)
Apakah ini sudah keputusan final?
Berubah Pikiran....
Nah, di suatu waktu yang random, aku ngobrol via chat Instagram dengan Mbak Piksan, travelmate-ku tahun 2012 waktu backpacking ke India. Saat itu karena lagi menyelesaikan penulisan trip-ku ke Kolkata, aku meminta file foto-foto kita di Kolkata yang dia punya. Karena aku inget banget, saat itu memori kameraku habis sehingga seluruh foto di Kolkata pakai kamera Mbak Piksan. Di tengah obrolan ringan tentang rencana perjalananku ke China—aku sebutin target ruteku saat itu: Zhangjiajie, Shaolin Temple, Beijing, dan lanjut ke Mongolia—eh, Mbak Piksan malah nyeletuk santai
“Kalau kamu suka alam, kamu harus ke Yunnan juga.”
Yunnan? Waduh, dimana ini?? nambah lagi nih…
Aku pun refleks buka Google Maps. Dan ternyata, provinsi Yunnan itu letaknya di barat daya China, berbatasan langsung dengan Vietnam, Laos, dan Myanmar. Aku belum pernah dengar banyak soal tempat ini sebelumnya, jadi rasa penasaranku langsung meningkat tajam. Aku langsung mencari informasi tentang "Yunnan" ini di tiktok, daannn... sukses membuatku ternganga, bahkan lebih dari sebelumnya!
Video demi video memperlihatkan keindahan Yunnan yang benar-benar luar biasa! Ada Kota Tua Lijiang dengan atap-atap kayunya yang rapi dan sungai kecil yang mengalir di antara rumah-rumah tradisional. Pegunungan bersalju di Yulong Snow Mountain yang berdiri megah di bawah langit biru. Desa kuno Shuhe yang terasa damai, Danau Erhai yang tenang, sawah bertingkat di Yuanyang yang katanya setara dengan Banaue di Filipina, dan jalan setapak di Shangri-La yang seperti di dunia fiksi. Belum lagi pertunjukan megah Lijiang Show yang dipentaskan dengan latar langsung Yulong Snow Mountain, serta fenomena alam Blue Moon di Lijiang yang membuat suasana kota tua ini makin terasa magis—seakan Yunnan benar-benar diciptakan untuk menggabungkan realitas dengan dongeng. Dan vibe-nya beda banget dari tempat-tempat China yang biasanya muncul di media. Di Yunnan, aku merasa seperti menemukan sisi lain China—yang lebih tenang, lebih hijau, lebih etnik, dan penuh budaya lokal dari suku-sukunya.
Sejak saat itu, daftar perjalananku pun resmi bertambah: Yunnan harus masuk!
Dan entah kenapa, makin ditambah justru makin bikin semangat. Eh, makin pusing! Wkwkwk... Pusing ngatur waktunya gimana ini kalau sebanyak ini tujuannya, dan masih ke Mongolia lagi. Pasti membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang banyak.
Gimana ya enaknya?
Memutuskan...
Sejak itu, jujur aja… aku mulai “selingkuh” dari tujuan awal perjalananku. Zhangjiajie yang tadinya jadi bintang utama perlahan mulai tenggelam di bayang-bayang Yunnan. Kota-kota di provinsi itu seperti Lijiang, Dali, Shangri-La, benar-benar membuatku sulit mengubah pikiran lagi. Kota tuanya bukan sekadar estetik buat foto-foto, tapi hidup dengan budaya lokal. Lanskapnya bukan cuma pemandangan, tapi kombinasi antara danau, pegunungan salju, padang rumput, dan desa-desa etnik yang seolah berhenti di waktu. Bahkan, jalan darat dari Lijiang ke Shangri-La itu katanya salah satu rute tercantik di China barat daya.
Disini aku mencoba berpikir logis. Waktu travelingku (yang disesuaikan dengan liburan idul fitri yang bisa molor-molor dikit) dan ketahananku supaya tidak terlalu bosan di jalan, adalah 2-3 minggu. Dan dengan durasi segitu, aku tahu harus memilih. Kenapa harus memilih? Karena jarak dari kota-kota di Yunnan dengan Zhangjiajie, Shaolin Temple dan Beijing itu jauhnya bukan main. Kalau kupaksa semua harus dikunjungi, selain sangat melelahkan di jalan, biaya transportasinya juga tidak sedikit.
Jadi aku harus memutuskan.
Yunnan, atau kombinasi Zhangjiajie, Shaolin Temple, Beijing dan Mongolia?
Dan semakin aku mempertimbangkan, keputusan akhirku tetap sama. YUNNAN! Alasan utamanya karena di kota-kota wisatanya - seperti Lijiang, Dali, Shangri-La - pemandangan alamnya benar-benar bervariasi dari danau, gunung, kota tua, padang rumput, hutan pinus, hingga desa Tibet (ini semua benar-benar tipe pemandangan yang aku suka); budayanya kental dan beragam: suku Bai, Naxi, Tibetan, dan lainnya; kemudian secara konektivitas ada penerbangan langsung Air Asia dari KL ke Kunming (ibukota Provinsi Yunnan); antar kota bisa diakses dengan kereta cepat yang harga tiketnya menurutku masih terjangkau.
Kedua, soal Mongolia—ini alasan yang bikin aku nyengir sendiri. Awalnya sih semangat banget mau ke sana, ngebayangin hamparan padang rumput, yurt, kuda-kuda liar, dan kehidupan nomaden. Ini semua bakal mengingatkanku ke pengalaman eksplor Asia Tengah tahun 2023 kemarin. Tapi begitu ngecek suhu rata-rata Ulaanbaatar bulan Maret...
Minus. Sampai. Nol. Derajat.
Waduhhh! Langsung keinget trauma waktu di Murmansk, Rusia, tahun 2024, waktu aku harus eksplor di tengah suhu -23 derajat celsius sampai -11 derajat celsius. Sampai tangan sama kaki kayak balok es dan hidung rasanya copot. Bahkan ada momen dimana aku hampir ga kuat (mungkin bisa saja hampir kena hipotermia) waktu mengikuti day tour ke Teriberka (desa di ujung utara bumi) Wkwkwk… No thanks, ga lagi deh! Suhu segitu itu bukan dingin lucu-lucu, tapi dingin yang membuat sangat tidak nyaman bahkan bisa menyebabkan hipotermia. Apalagi kalau harus naik angin kencang di dataran luas Mongolia. Bisa auto menyerah sebelum lihat satu pun yurt.
Pengalaman mengikuti day tour ke Teriberka di Murmansk, Rusia, dengan suhu -14 derajat celsius. Hampir hipotermia disini wkwkwk...Menurutku tidak bisa dinikmati jadi aku tidak ingin mengulanginya lagi.
Jadi ya gitu, Yunnan bukan cuma pilihan terbaik, tapi juga yang paling manusiawi buat aku saat ini. Pemandangannya indah, budayanya kaya, aksesnya gampang, dan suhunya bersahabat.
11 Desember 2024..
Booking Tiket....
Desember 2024, aku lagi kerja freelance di Kopi Kenangan seperti biasa. Duduk di pojok kedai, sesekali sambil tetap ngebatin tentang rencanaku ke China ini “Kapan ya aku beneran klik tombol book flight Air Asia dari KL ke Kunming itu?”
Sebenarnya aku masih diliputi kebimbangan. Aku sudah beberapa minggu mantengin situs AirAsia dan dihadapkan dengan dua pilihan keberangkatan pesawat dari Kuala Lumpur–Kunming. Yang pertama lebih murah, tapi sampai Kunming jam 2 pagi (harga tiketnya sekitar 1,2 jt); yang kedua agak mahal, tapi sampai Kunming jam 5 sore (harga tiketnya sekitar 1,6 jt).
Sebagai traveler ngirit, awalnya tentu aja aku ngiler sama yang murah. Tapi kemudian tersadar. Kalau aku mendarat jam 2 pagi, artinya aku punya 2 option lanjutan. Tidur di bandara nunggu pagi sehingga bisa naik transportasi umum ke kota atau naik taksi tengah malam itu juga ke penginapan supaya bisa langsung istirahat maksimal.
'Eh tapi kan aku tipe-tipe yang susah tidur kalau di bandara gitu. Aku juga belum tau pasti kondisi Bandara Kunming gimana, apa ada tempat buat tiduran yang nyaman? Kalaupun ada apakah dingin? Trus esok paginya kan kita baru bisa check in hotel jam 2 siang, trus kopernya mau dititipin mana? Trus badan pasti sakit semua kalau malamnya tidurnya ga maksimal.'
'Naik taksi tengah malam ke penginapan. Biayanya berapa?? Keamanannya gimana?'
Pertimbanganku diatas akhirnya menghasilkan keputusan logis. Aku memilih penerbangan yang landing jam 5 sore. Gpp agak mahal. Tapi setidaknya aku bisa keluar bandara dengan tenang, naik metro, dan langsung ke hotel. Malamnya aku bisa jalan-jalan di pasar malam dilanjutkan tidur nyaman malam tanpa drama. Karena aku sadar—perjalanan ini panjang, dan aku harus mulai dengan kondisi terbaik.
Akhirnya… aku klik juga tombol itu.
Tiket KL–Kunming seharga 1,6 juta rupiah resmi kubeli.
YEAYYY!
Akhirnya, aku beneran akan berangkat ke Yunnan!
Perasaanku campur aduk waktu itu. Antara lega dan excited. Karena rasanya beda ya, antara wacana dan eksekusi. Setelah sekian lama cuma liatin Kota Tua Lijiang, Kota Tua Dali di TikTok, baca-baca pengalaman orang ke Shangri-La, baca-baca pengalaman orang di grup backpacker, sekarang aku sudah mempunyai tiketnya kesana!
Bagaimana dengan tiket pulang?
Belum aku beli. Dan memang sengaja, karena aku masih belum tahu akan berapa lama di China. Bisa 2 minggu, bisa lebih. Itu semua tergantung itinerary/rencana perjalanan yang segera akan kususun setelah ini, karena kemungkinan dari Yunnan, aku masih akan eksplor provinsi lain dulu. Aku benar-benar harus mempelajari rutenya dahulu, terutama transportasi penghubung antar wilayah.
***
11 Desember 2024..
Tibet terlalu menggoda....
Setelah aku beli tiket ke Kunming itu, bukannya tenang dan fokus bikin rencana perjalanan di Yunnan, pikiranku malah mulai berkecamuk. Tiba-tiba muncul keinginan baru yang datang tanpa diundang.
“Oke. Memang Yunnan cantik, tapi menurutku ini mainstream. Maksudku, sudah banyak orang yang traveling kesana juga. Gimana kalau aku tambahkan Tibet sekalian aja ya?”
Wkwkwk... dasar manusia, emang nggak pernah puas. Baru beli tiket satu, udah mulai ngelirik destinasi lain. Tapi ya begitulah aku, semakin dekat ke petualangan, semakin banyak imajinasi liar yang muncul.
Kenapa keinginan ini tiba-tiba muncul begitu saja??
Ya karena beberapa alasan yang cukup kuat (dan sedikit impulsif):
Pertama, aku sadar selama beberapa tahun belakangan ini, aku cenderung memilih destinasi yang agak anti-mainstream. Yang nggak semua orang tempuh. Contoh mengunjungi Asia Tengah di April 2023, dimana pada saat itu masih sedikit banget traveler asal Indonesia yang kesana; mengunjungi Russia di 2024 saat masih ada perang dingin dengan Ukraina dan embargo dari banyak negara; mengunjungi Oman di 2024 juga. Jadi aku merasa kalau aku hanya ke Yunnan aja, kok sedikit kurang menantang? wkwkwk. Bagaimana kalau kita tambahkan satu destinasi lagi di China yang membuat andrenalinku berpacu kencang?
Bagaimana kalau Tibet??
Nah ini! Ini jawabannya! Masih rare, masih penuh misteri, dan sangat spiritual.
Kedua, aku pikir-pikir… mumpung aku masih punya tabungan dan tenaga.
Aku tahu pergi ke Tibet nggak semudah booking pesawat, booking hotel terus ikut day tour. Perlu tenaga, adaptasi dengan ketinggian, dan biaya yang nggak kecil juga - karena kita diwajibkan ikut paket tour yang teregistrasi di China dan mempunyai Tibet Travel Permit (TTP). Kapan lagi kan? Badan masih bisa diajak jalan jauh, kaki belum rewel, dan mental masih kuat.
Ketiga, secara geografis. Tibet itu udah tinggal ‘selangkah’ dari Yunnan. Letaknya sudah berbatasan dengan Shangri-La sebagai kota ketiga yang rencana kukunjungi di Yunnan. Berdasar browsingku, pilihan ke Tibet bisa dilakukan dengan naik pesawat (dari kota-kota besar di China) atau naik kereta api ke Lhasa yang katanya salah satu perjalanan kereta tercantik di dunia. Bayangin aja—hamparan padang luas, langit biru bening, kuil-kuil Buddhis, dan biara-biara megah yang berdiri di tengah lanskap epik.
Jadi 3 alasan itu sudah cukup membuatku tenggelam di google untuk browsing penyedia paket tour yang terpercaya di Tibet. Aku udah tahu dari lama bahwa untuk masuk Tibet nggak bisa mandiri, apalagi sebagai foreigner—harus ikut tur resmi dari operator China mainland. Aku membuka banyak paket, mengecek keabsahan penyedia tour tersebut, dan akhirnya memutuskan Asia Odyssey Travel sebagai travel pertama yang akan kuemail untuk konsultasi. Berdasarkan browsingku di situs mereka, untuk tujuan Tibet, pilihannya ada beberapa variasi.
- Ada yang 3 hari, cuma eksplor Lhasa dan sekitarnya—kuil-kuil utama, Potala Palace, dan pasar lokal.
- Lalu ada 5 hari buat yang mau mulai nyicip daerah luar Lhasa sampai EBC.
- Terus lanjut ke 7 hari, 8 hari, 9 hari—semakin panjang, semakin liar rutenya., termasuk EBC dan beberapa danau.
Dan dari semua itu, paket yang bikin aku naksir berat adalah yang 7 hari.
Kenapa?? Pertama, karena dia masukin EBC (Everest Base Camp) ke dalam rute.
Yes, EVEREST BASE CAMP, guys. Walaupun cuma sampai titik pandangnya dari sisi Tibet, tapi aku yakin udah cukup banget buat bikin merinding. Bayangin berdiri di tengah padang tandus tinggi, dengan angin dingin yang menggigit, lalu di depan kita berdiri gagah gunung tertinggi di dunia—itu pasti pengalaman yang nggak akan pernah bisa aku lupakan.
Wuah... siapa yang ga kepincut dengan itinerary eksplor Tibet 7 hari ini? Semangat dan andrenalinku langsung membuncah begitu membacanya!
Kedua, emang bener… harganya lumayan mahal—hampir 900 USD. Tapi setelah aku baca semua include-nya, itu sudah termasuk akomodasi 6 malam, transportasi darat selama tur, guide lokal, biaya Tibet Travel Permit (TTP), tiket masuk ke tempat wisata, dan beberapa kali makan yang juga sudah termasuk. Jadi bisa dibilang, jika aku ambil paket tur 7 hari ini, selama disana aku bassicaly hanya akan keluar uang dikit aja untuk beberapa kali makan dan tip guide. Dan setelah kupikir-pikir, masih masuk akal juga! Dengan segala pengalaman yang ditawarkan—dari kota suci Lhasa, Danau Yamdrok yang biru banget, Biara Gyantse dan Shigatse, sampai kaki Gunung Everest—harga segitu bukan lagi soal mahal, tapi soal sepadan atau nggaknya. Dan menurutku ini sepadan banget.
Tempat-tempat ikonik yang akan dikunjungi di Tibet.
Setelah berhari-hari browsing, buka tab demi tab, baca review dan bandingkan itinerary, akhirnya aku memberanikan diri mengisi form enquiry di Asia Odyssey Travel—agen tour yang setelah kuulik, ternyata memang salah satu yang terbesar dan paling kredibel di China buat perjalanan ke Tibet.
Awalnya deg-degan juga. Ini bukan booking hostel biasa atau tiket kereta, tapi masuk ke wilayah “serius” yaitu daftar tur resmi. Dalam dua hari, aku dapat balasan email dari seorang agen bernama Mr. Wang, dan dari situlah awal mula segala percakapan dimulai. Mr. Wang menjelaskan semuanya dengan cukup detail dan sabar. Dia jelasin soal itinerary hari demi hari, dokumen yang dibutuhkan, jenis akomodasi, hingga rute perjalanan menuju Everest Base Camp. Tapi yang bikin aku makin mantap adalah ketika dia bilang:
“Untuk pembayaran bisa dicicil 3x.”
Loh? Serius nih? Bisa dicicil?!
Langsung terasa kayak semesta kasih angin—karena jujur, harga hampir 900 USD itu lumayan nguras tabungan kalau harus bayar sekaligus, kayak ga rela gitu kalau langsung dibayar sekaligus wkwk. Tapi dengan skema cicilan ini, rasanya jauh lebih doable. Aku bisa bayar sebagian dulu, lalu sambil kerja dan nabung untuk pelunasan sebelum tanggal tur dimulai.
Dan di titik itulah… aku berhenti mikir.
Aku memutuskan: IYA. Aku akan ke Tibet.
Tiba-tiba semuanya terasa nyata. Aku bukan lagi sekadar traveler yang mengintip Tibet dari layar ponsel, tapi bakal benar-benar menjelajahi atap dunia. Dari Lhasa sampai EBC. Dari kereta panjang yang menembus dataran tinggi, sampai biara-biara sunyi yang berdiri anggun di bawah langit biru. Tibet bukan lagi mimpi. Dia sekarang jadi tujuanku!
Ini dia, andrenalinku mulai naik! Inilah yang kuharapkan sebelum mulai suatu perjalanan. Setelah obrolan panjang dengan Mr. Wang, aku segera melakukan pendaftaran resmi. Aku mengirimkan scan paspor dan membayar DP tahap pertama—tanda bahwa aku benar-benar serius menapaki jalan ke Tibet. Dari sekian banyak tanggal keberangkatan, aku memilih yang paling pas dengan rencana perjalanan panjangku yaitu 2–8 April.
Mr. Wang juga memberi catatan penting:
“Satu bulan sebelum keberangkatan, visa China harus sudah dikoleksi.”
"Oke Sir, aku akan mengurus visanya bulan Februari. Aku akan mengirimkannya lewat email ini kalau sudah selesai," jawabku.
***
Simple, tapi rasanya kayak menandatangani kontrak dengan takdir. Sekarang itineraryku sudah mulai agak jelas. Aku sudah punya tiket KL ke Kunming untuk memulai perjalananku di Provinsi Yunnan, Tur ke Tibet sudah daftar dan DP tahap pertama. Selanjutnya muncul pertanyaan besar berikutnya yang membuatku kembali termenung,
“Setelah Tibet… aku mau ke mana sebelum pulang ke Indonesia?”
Mau mampir ke Chengdu lihat panda?
Mau lanjut ke Xi’an napak tilas Dinasti Tang?
Atau sekalian lintas batas ke negara baru? Laos? Vietnam? Atau malah balik ke Yunnan dan slow travel dulu di desa-desa cantik itu?
Menurut kontrak yang dikirimkan Mr. Wang, aku sudah di-lock untuk masuk Tibet tanggal 2 April dan keluar tanggal 8 April. Dan ini bukan tanggal fleksibel kayak check-in hostel biasa—ini tertera resmi di Tibet Travel Permit, dokumen yang mengatur semua gerak-gerik wisatawan asing di wilayah tersebut.
“Karena tanggal masuk dan keluar tertulis di Tibet Travel Permit, jadi tidak bisa diutak-atik,” begitu kata Mr. Wang.
Jadi ya, aku nggak bisa seenaknya datang lebih awal atau extend setelah tanggal 8 April. Untuk masuk dan keluar Tibet, aku punya dua pilihan realistis yaitu kereta atau pesawat. Dan meskipun kereta dari Lhasa ke kota-kota besar China itu terkenal dengan jalur paling tinggi dan paling epik di dunia, tapi setelah kupikir-pikir tantangannya banyak juga wkwk...Perjalanan naik kereta bisa 36–48 jam sekali jalan; keretanya memang sleeper, tapi punggungku bukan lagi punggung bocah dan aku bukan tipe yang mudah tertidur di kereta; dan ternyata… harga tiket keretanya hampir sama dengan pesawat. Akhirnya dengan segala kebijakan ala tubuh jompo dan logika traveler hemat tapi realistis, aku pun memutuskan naik pesawat aja. Simpel, cepat, dan hemat tenaga buat eksplor lagi setelahnya.
Lalu muncullah pertanyaan berikutnya:
“Kalau keluar dari Tibet tanggal 8 April… aku mau landing di kota mana, ya?”
Beberapa hari aku browsing—mantengin peta, buka aplikasi flight search, cek harga, dan ngebandingin rute. Aku cari kota yang masih dalam jangkauan harga pesawat dari Lhasa; harga tiket kembali ke Singapura/Malaysia/Indonesia juga realistis; dan tentu saja… kota itu punya daya tarik untuk dijelajahi.
Aku sempat berpikir ingin landing di Kota Zhangjiajie, untuk lanjut eksplor Pegunungan Tianmen, sesuai rencana awalku kenapa aku ingin banget mengunjungi China. Namun ternyata.. tiket pesawat sekali berangkat dari Lhasa ke Zhangjiajie hampir 3 juta per-orang. Menurutku masih cukup mahal... Aku mencari alternatif lain. Setelah browsing beberapa hari, zoom in dan zoom out google maps, akhirnya aku dapat 3 kandidat kota yaitu Chengdu, Chongqing, dan kembali ke Kunming.
Dan dari semua itu, dengan segala pertimbangan dan rasa penasaran, aku memilih....Chengdu. Alasannya simpel. Harga tiket dari Lhasa ke Chengdu masih masuk akal (ada di kisaran 1,8 jt - 2,5 jt sekali jalan); dari Chengdu ke Jakarta/KL/Singapura juga banyak pilihan maskapai dan tanggal fleksibel; dan yang paling penting di Chengdu ada pusat
Jadi, setelah dari dataran tinggi Tibet, aku akan “turun gunung” ke Chengdu—mungkin untuk leyeh-leyeh, ngelus panda, atau sekadar menenangkan hati setelah petualangan luar biasa dari atap dunia. Awalnya aku pikir, "Udah lah, di Chengdu cukup 2 harian aja, santai-santai sebelum pulang ke Indonesia." Rencanaku simpel. Jalan-jalan di kota, makan hotpot, ngelus panda, leyeh-leyeh di hostel yang proper. Setelah petualangan Tibet, rasanya memang butuh istirahat.
Tapi ya… namanya juga aku. Tanganku terlalu gatal untuk diam saja wkwkwk. Dan nasib sialnya (atau beruntungnya?) aku iseng search kata ‘Chengdu’ di grup backpacker FB, dan…
BOOM. Satu nama muncul dan langsung mencuri hatiku:
Taman Nasional Jiuzhaigou
Taman Nasional Jiuzhaigao. Ini apa?... kok bisa ada tempat seindah ini?? Waduhhh apalagi ini???Aku langsung scroll foto-fotonya dan.... ya ampun... kok bisa seindah ini? Ada danau bening biru toska, air terjun bertingkat, dedaunan warna-warni, gunung di kejauhan. Kayak… bukan bumi. Cantik banget. Gila!
Awalnya aku nahan-nahan diri.
“Nggak, jangan dicari lebih lanjut, nanti kepincut…”
Tapi ya tetep aja, jari-jari ini malah makin gesit buka info. Wkwkwk...
Dan ternyata—taman ini bukan di Chengdu. Jiuzhaigou itu lokasinya sekitar 400 km dari Chengdu, dan untuk ke sana pilihan transportasinya ada 2, yaitu bisa naik bus 10 jam langsung ke kota Jiuzhaigou; atau naik kereta cepat 3 jam ke Stasiun Jiuzhai Huanglong Station, lanjut bus 1,5 jam ke pusat kota Jiuzhaigou.
Oh ya ampun… harus naik kereta, sambung bus lagi. Masih kuat nggak ni badanku? Masih semangat nggak nanti niatku? Aku pikir abis dari Tibet bisa langsung rebahan santai di kota. Tapi ini malah tergoda naik gunung lagi. Wkwkwk, memang dasar traveler kamaruk wkwk.
Tapi semakin aku searching, semakin jelas rasanya. Taman ini nggak bisa dilewatkan. Buat pecinta alam—dan itu jelas aku—Jiuzhaigou tuh kayak surga.
Satu taman nasional, penuh danau sebening kaca, air terjun berlapis-lapis, hutan berwarna pelangi, dan udara pegunungan yang segar banget.
Akhirnya, aku menyerah…
"Awhhh sudahlah! Aku harus ke sini!"
Wkwk… capek? Mungkin. Tapi menyesal kalau nggak ke sini? PASTI.
Menimbang semua energi yang akan terkuras setelah pulang dari Tibet, plus perjalanan darat yang lumayan menguras fisik ke Jiuzhaigou, aku akhirnya memutuskan untuk menambahkan 4 hari ekstra setelah tanggal 8 April. Karena ya, kalau mau menikmati Taman Nasional Jiuzhaigou dengan layak—tanpa terburu-buru, tanpa ngos-ngosan, tanpa badan ngilu—aku butuh waktu.
"Kurasa tanggal 12 April waktu kepulangan yang tepat," gumamku dalam hati sambil menatap kalender.
"Nanti aku hunting tiket pulangnya dulu ah," lanjutku sambil mematikan laptop.
Mataku rasanya pedih karena seharian ini kerjaannya cuma satu: browsing.
Browsing kota, transportasi, wisata, harga tiket, review hostel, dan… tentu saja, video-video TikTok yang bikin makin gak tahan.
Dan akhirnya, kerangka itinerary perjalananku terbentuk:
23 Maret – 2 April 2025
Eksplorasi Yunnan
(Dari Kunming – Lijiang – Shangri-La - Dali - Kunming)
2 – 8 April 2025
Ikut tur ke Tibet - start dari Kota Kunming (Penerbangan Kunming - Lhasa)
(Lhasa – Yamdrok Lake – Gyantse – Shigatse – Everest Base Camp)
8 – 12 April 2025
Eksplor Chengdu dan Jiuzhaigou
(Makan hotpot, ngelus panda, lalu lanjut ke surga tersembunyi Jiuzhaigou)
Itinerary ini aku rasa terasa seimbang, yaitu diawali dengan eksplorasi budaya dan alam di Yunnan yang adem, lalu naik ke puncak spiritual dan petualangan berat di Tibet, dan diakhiri dengan penutup epik di Jiuzhaigou, yang aku yakin akan membuatku pulang dengan hati dan galeri penuh.
OK, siap eksekusi tahap selanjutnya ! Hhh.. melelahkan sekali.